KUNJUNGI WEB SAYA

Ekonomi Islam Sebuah Alternatif



A.  Pendahuluan :
Beberapa dasawarsa yang lalu, dunia telah mengalami polarisasi dari dua kekuatan sistem ekonomi, ditandai dengan adanya dua negara adidaya sebagai representasi dua system ekonomi tersebut, Amerika dan sekutu Eropa baratnya merupakan bagian kekuatan dari sistem ekonomi kapitalis, sedangkan ekonomi sosisalis diwakili oleh Uni Soviet dan Eropa Timur serta negara China dan Indochina seperti Vietnam dan Kamboja. Dua sistem ekonomi ini lahir dari dua muara idiologi yang berbeda sehingga persaingan dua sistem ekonomi tersebut hakikatnya merupakan pertentangan dua idiologi politik dan pembangunan. Posisi negara muslim pasca berakhirnya perang dunia kedua menjadi objek tarik menarik dua kekuatan idiologi tersebut. Hal ini disebabkan tidak adanya visi konstruksi pembangunan ekonomi yang dimiliki para pemimpin negara muslim dari sumber Islami orisinil pasca lahirnya negara bangsa sebagai akibat dari pengaruh penjajahan dan kolonialisme barat.
Dalam suasana tarik menarik tersebut lahirlah ide untuk kembali pada sistem yang orisinal di dua dasawarsa terakhir ini. Gerakan Islamisasi ekonomi ini kemudian menjelma menjadi suatu gerakan yang sangat menarik hingga kini. Dari sini timbul perntanyaan mendasar yang membutuhkan jawaban yaitu tentang apa sesungguhnya keunggulan sistem ekonomi Islam jika dibandingkan dengan sistem ekonomi lainnya ?
B.  Pokok – pokok Ekonomi Islam.
a. Sejarah
Sesungguhnya telah sepuluh abad sebelum orang-orang Eropa menyusun teori-teori tentang ekonomi, telah diturunkan oleh Allah Swt sebuah analisa tentang ekonomi yang khas di daerah Arab. Hal yang lebih menarik adalah bahwa analisa ekonomi tersebut tidak mencerminkan keadaan bangsa Arab pada waktu itu, tetapi adalah untuk seluruh dunia. Jadi sesungguhnya hal tersebut merupakan hidayah dari Allah Swt, Tuhan yang mengetahui sedalam-dalamnya akan isi dan hakikat dari segala sesuatu. Kemudian struktur ekonomi yang ada dalam firman Allah dan sudah sangat jelas aturan-aturannya tersebut, pernah dan telah dilaksanakan dengan baik oleh umat pada waktu itu. Sistem ekonomi tersebut adalah susatu susunan baru yang bersifat universal, bukan merupakan ekonomi nasional bangsa Arab. Sistem ekonomi tersebut dinamakan ekonomi Islam.
Berbagai pemikiran dari para sarjana ataupun filosof-filosof zaman dahulu mengenai ekonomi tersebut juga sudah ada. Diantaranya adalah pemikiran Abu Yusuf (731-798 M), Yahya Ibnu adam (wafat 818 M), Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), el-Hariri (1054-1122 M), Imam al-Ghozali (1058-1111 M), Tusi (1201-1274 M), Ibnu Taimiyah (1262-1328 M), Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dan lain-lain[1]. Barangkali tidaklah pada tempatnya untuk menyebut secara singkat sumbangan dari beberapa diantara mereka itu. Sumbangan Abu Yusuf terhadap keuangan umum adalah tekanannya terhadap peranan negara, pekerjaan umum dan perkembangan pertanian yang bahkan masih berlaku sampai sekarang ini.
Gagasan Ibnu Taimiyah tentang harga ekuivalen, pengertiannya terhadap ketidaksempurnaan pasar dan pengendalian harga, tekanan terhadap peranan negara untuk menjamin dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat dan gagasannya terhadap hak milik. Memberikan sejumlah petunjuk penting bagi perkembangan ekonomi dunia sekarang ini. Ibnu Khaldun telah memberikan definisi ekonomi yang lebih luas dari Tusi. Dia menganggap bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu pengetahuan yang positif maupun normatif. Maksudnya mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan bukan kesejahteraan individu. Ibnu Khaldun yang telah melihat adanya hubungan timbale balik antara factor-faktor ekonomi, politik, sosial, etika dan pendidikan. Dia memperkenalkan sejumlah gagasan ekonomi yang mendasar seperti pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja dalam teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistem harga dan sebagainya.
Secara keseluruhan para cendekiawan tersebut pada umumnya dan Ibnu Khaldun pada khususnya dapat dianggap sebagai pelopor perdagangan fisiokrat dan klasik (misalnya Adam Smith, Ricardo dan Malthus) dan neo klasik (misalnya Keynes).
Sebutan ekonomi Islam melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata “Islam” memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang sangat ekslusif, sehingga menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan bagi semua manusia. Bagi lainnya, ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis dan sosialis, sehingga ciri hal khusus yang dimiliki oleh ekonomi Islam itu sendiri hilang.
Sebenarnya ekonomi Islam adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya ekonomi Islam merupakan satu sistem yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh umat. Sedangkan dengan cirri khasnya, ekonomi Islam dapat menunjukan jati dirinya-dengan segala kelebihannya pada setiap sistem yang dimilikinya.
Ekonomi Rabbani menjadi ciri khas utama dari model Ekonomi Islam. Chapra menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai divine economics. Cerminan watak “ketuhanan” ekonomi Islam bukan aspek pelaku ekonominya - sebab pelakunya pasti manusia – tetapi pada aspek aturan atau sistem yang harus dipedomani oleh pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua factor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah milik Allah, dan kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan (QS 3:109). Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam batas koridor aturan main. “Dialah yang memberi kelapangan atau membatasi rezeki orang yang Dia kehendaki” (QS. 42:12,13, 26). Atas hikmah Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya selama ia tidak menolak untuk mendapatkannya (QS 11:6) Namun Allah tak pernah menjamin kesejahteraan ekonomi tanpa manusia tadi melakukan usaha.
Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka ekonomi Islam – meminjam istilah dari Ismail al-faruqi – mempunyai sumber “nilai-nilai normative-imperatif”, sebagaim acuan yang mengikat. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai yang secara vertical merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.
Sistem ekonomi Islam mengalami perkembangan sejarah baru pada era modern. Menurut Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak ekonomi Islam, ada tiga tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu :
1.            Tahapan Pertama, dimulai ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu haram dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan konvensional. Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah dan bukan pada bunga. Masa ini dimulai kira-kira pada pertengahan decade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannya pada akhir decade 1950-an dan awal decade 1960-an. Pada masa itu di Pakistan didirikan Bank Islam local yang beroperasi bukan pada bunga, lembaga keuangan ini diberi nama Mit Ghomr Local Saving Bank yang berlokasi di delta sungai Nil, Mesir.
2.            Tahapan Kedua, dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahapan ini para ekonom muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar tentang ekonomi Islam digelar dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim dan nonmuslim. Konfrensi internasional pertama tentang ekonomi Islam pertama diadakan di Makkah al-Mukaromah pada tahun 1976 yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi internasional yang baru di London pada tahun 1977. Pada tahapan ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal diseluruh dunia  Islam antara lain : Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan sebagai bapak ekonomi Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr. MA. Mannan, Dr. Omar Zubair, Dr. Ahmad An-Najjar, Dr. M. Nezatullha Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr. Munawwar Iqbal, Dr. Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan lain-lain. Mereka adalah ekonom-ekonom yang didik di barat tetapi memahami sekali bahwa Islam sebagai way of live yang integral dan komprehenshif memiliki sistem ekonomi tersendiri dan jika diterapkan dengan baik akan mampu membawa umat Islam kepada kedudukan yang berwibawa dimata dunia.
3.            Tahapan ketiga ditandai dengan upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan muslim yang memiliki kepedulian kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah  mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis non-riba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam pertama yang didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasama antara negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Selanjutnya bermunculan bank-bank syariah di mayoritas negara-negara Islam termasuk di Indonesia.
      b.  Pengertian dan Prinsip Dasar.
            Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama yaitu; suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang , meninjau, meneliti dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi secara Islami (berdasarkan ajaran-ajaran Islam).
Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra adalah sebagai berikut :
1.      Prinsip Tauhid, ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta  ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah Swt. Bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
2.      Prinsip Khilafah. Manusia adalah khilafah Allah SWT. Di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khilafah-Nya.
3.      Prinsip Keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam.
c.   Landasan Filosofi Ekonomi Islam
Banyak sekali keterangan dari al-Qur’an yang menyinggung masalah ekonomi, baik secara eksplisit maupun implisit. Bagaimana jual-beli yang baik dan sah menurut Islam, pinjam meminjam dengan akad-akad yang sah sampai dengan pelarangan riba dalam perekonomian. Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah disebutkan, dimana perbuatan riba itu dibenci Tuhan. Sedangkan pada tatanan teknisnya diperjelas dengan hadis serta teladan dari Rasulullah dan para alim ulama.
Dari namanya sudah dapat dipastikan bahwa secara ideologi sistem ekonomi Islam kental dengan nuansa keislaman. Sistem ekonomi Islam memberikan tuntunan pada manusia dalam perilakunya untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan keterbatasan alat pemuas dengsn jalan yang baik dan alat pemuas yang tentunya halal, secara dzatnya maupun secara perolehannya.
Objek kajian sistem ekonomi Islam adalah homo-economy-religius, dimana secara fitrah manusia membutuhkan pengejewantahan rasa berkeTuhanan dengan melakukan nilai-nilai syariat Islam. Tanpa harus memandang sisi sistem ekonomi Islam sebagai ekonomi posistif dan normatif. Sedangkan objek kajian yang lain adalah sebagai bagian dari manusia yang belum menerima hidayah dan tengah tenggelam dalam kehidupan parsial. Sebuah derivisi dari kesejatian dalam ber-Islam diharapkan bisa memberikan kesejahteraan bagi semua manusia, sebagaimana Islam diturunkan untuk makhluk di bumi ini agar selamat sejahtera.
d.      Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia.
Kebangkitan ekonomi umat Islam di Indonesia bersamaan dengan kebangkitan umat Islam secara global. Ada sedikit perbedaan wacana antara perkembangan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia dengan yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam lainnya terutama di Timur Tengah. Lebih dari separoh pertama abad dua puluh ini para ulama dan tokoh masyarakat Islam di Indonesia lebih memikirkan bagaimana nasib ekonomi umat Islam yang dari dulu tidak pernah dibenahi dan selalu dipinggirkan oleh penjajah Belanda.
Karena itu mereka agaknya kurang waktu untuk memikirkan dan menggali sistem ekonomi Islam tersendiri yang rohnya diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Rasanya kita belum menemukan tulisan-tulisan dari para tokoh Islam sendiri yang mencoba menjelaskan Islam secara komplit dan integratif dibarengi dengan pengajuan Islam sebagai sistem kehidupan bukan saja dalam bidang keagamaan melainkan juga dalam bidang sosiaal, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan lain-lain.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya umat Islam, sistem ekonomi syariah harus dilaksanakan sebagai sistem ekonomi yang universal, yang mengedepankan transparansi, keadilan dan good governance dalam pengelolaan usaha dan asset-asset negara. Di mana praktik ekonomi yang dijalankan berpihak pada rakyat kebanyakan dan berpihak pada kebenaran.
Perjalanan waktu menunjukkan, bahwa ekonomi syariah bisa menjadi pilihan untuk mengatasi masalah umat yang saat ini masih mengalami krisis ekonomi. Adalah menjadi tantangan bagi para pelaku ekonomi syariah untuk lebih meningkatkan pemahaman umat soal prinsip ekonomi syariah, karena mereka akan menjadi pasar potensial bagi penerapan ekonomi syariah yang bukan tidak mungkin akan menjadi batu loncatan bagi penerapan hukum syariah di semua aspek kehidupan yang menjadi impian banyak umat Islam di negeri ini.
Di Indonesia, praktek ekonomi Islam, khususnya perbankan syariah sudah ada sejak 1992. Diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun, pada decade hingga tahun 1998, perkembangan bank syariah boleh dibilang agak lambat. Pasalnya, sebelum terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tidak ada perangkat hokum yang mendukung sistem operasional bank syariah kecuali UU No. 7 Tahun 1992 dan PP No. 72 Tahun 1992.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Karenanya manajemen bank-bank syariah  cenderung mengadopsi produk-produk perbankan konvensional yang “disyariatkan”. Dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya tidak semua keperluan masyarakat terakomodasi dan produk yang ada tidak kompetitif terhadap semua produk bank konvensional.
Peraturan itu menjadi penghalang bagi berkembangnya bank syariah, karena jalur pertumbuhan jaringan kantor bank syariah yang telah ada

e.       Kesimpulan :
Islam sebagai agama yang Allah turunkan bukan saja untuk ummat Islam semata akan tetapi untuk seluruh ummat di dunia ini (rahmatan lil ‘alamin) yang bersipat universal dan multikomplek, Islam dapat menjawab seluruh problematika dunia bukanlah hal utopis atau sesuatu yang ada dalam wacana saja, masalah ekonomi yang merupakan hajat hidup manusia juga tidak lepas dari ajaran Islam. Jauh sebelum bangsa-bangsa merumuskan ekonomi, Islam sudah lebih dahulu. Banyak sekali keterangan dari al-Qur’an yang menyinggung masalah ekonomi, baik secara eksplisit maupun implisit. Bagaimana jual-beli yang baik dan sah menurut Islam, pinjam meminjam dengan akad-akad yang sah sampai dengan pelarangan riba dalam perekonomian. Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah disebutkan, dimana perbuatan riba itu dibenci Tuhan. Sedangkan pada tatanan teknisnya diperjelas dengan hadis serta teladan dari Rasulullah dan para alim ulama.
Sistem ekonomi Islam memberikan tuntunan pada manusia dalam perilakunya untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan keterbatasan alat pemuas dengsn jalan yang baik dan alat pemuas yang tentunya halal, secara dzatnya maupun secara perolehannya.
Itulah sebabnya ketika system ekonomi lain sedang terpuruk, sementara ekonomi Islam berdiri dengan tegarnya ditengah-tengah hempasan krisis ekonomi dunia mendera. Sehingga meninggalkan hal yang positif yakni dengan dibukanya bisnis-bisnis yang berbasis syariah, disinilah saatnya para pakar ekonomi syariah (para ulama, cendekiawan muslim) perlu menggali kembali kaidah-kaidah hukum ekonomi syariah karena akan menjadi rujukan dari pelaku bisnis syariah.
Bisnis Syariah yang berkembang sekarang ini apakah benar-benar sesuai dengan kaidah syariah atau belum adalah tanggung jawab kita bersama.



Sumber: H. Jazuli Suryadhi, S.Ag. M.SI.
Disusun oleh: Siti Hapipah




Previous
Next Post »
0 Komentar

Terimakasih telah berkomentar