Dimana Letak Keadilan Jokowi Calon Presiden ? Antah barantah, raiso opo-opo.. hati-hati calon yang diusungkan partai tanpa ketua nya itu mencalonkan itu akan jadi presiden Boneka. Mhn maaf Kenyataan.
Yuk Kita simak info yang satu ini :
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono
Yuk Kita simak info yang satu ini :
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono
Panggung politik nasional kian gegap gempita. Penyebab utamanya adalah penetapan Joko Widodo (gubernur Jakarta) sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Mengaku telah mengantongi mandat dari Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri, Jokowi pun menyatakan kesiapannya maju sebagai calon presiden. Dia bahkan mendeklarasikan diri sebagai capres dari PDIP di rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara.
Selama ini, tingkat keterpilihan Jokowi sebagai calon presiden memang selalu berada di urutan teratas. Semua lembaga survei senantiasa menempatkan mantan wali kota Solo itu sebagai sebagai calon presiden paling disukai dan dipilih masyarakat.
Saya memperkirakan sambutan masyarakat luas atas pencalonan Jokowi tentu akan membahana. Sama seperti membahananya pemberitaan media saat mengetahui, bahwa Jokowi telah mendapat restu untuk maju sebagai calon presiden dari Megawati.
Di balik hiruk-pikuk dukungan terhadap Jokowi, banyak hikmah yang bisa kita petik. Ini harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa kita untuk melangkah ke depan dengan lebih baik.
Selayaknya, kasus majunya Jokowi sebagai capres ini merupakan peristiwa terakhir bagi seorang kepala daerah untuk menanggalkan jabatannya demi mengejar posisi yang lebih tinggi. Untuk itu perlu kiranya pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terkait dengan masa jabatan kepala daerah.
Dalam undang-undang itu ada dua hal yang membuat kepala/wakil kepala daerah berhenti dari jabatannya, yakni meninggal dan atas permintaan sendiri atau diberhentikan. Diberhentikan itu bisa berupa berakhir masa jabatannya, tak melaksanaan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama enam bulan bertutur-turut, tak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah, dinyatakan melanggar sumpah/janji, tak melaksanakan kewajiban sebagai kepala daerah, dan melanggar larangan sebagai kepala daerah.
Klausul (mundur) atas permintaan sendiri perlu dipertegas, apakah itu termasuk kategori tak mampu melaksanakan tugas dengan baik atau meninggalkan tugas karena ingin maju sebagai calon dalam posisi lain atau kedudukan yang lebih tinggi. Hal ini penting karena ‘kontrak’ antara kepala daerah dengan negara dan kepala daerah dengan masyarakat pemilihnya adalah lima tahun.
Sungguh sangat berbeda dengan masa jabatan anggota dewan, meski sama-sama lima tahun. Anggota dewan terdiri atas sekian puluh atau bahkan ratusan orang, sehingga satu orang mundur pun tak menjadi masalah. Belum lagi kalau dihitung ongkos besar yang dikeluarkan pemerintah hanya untuk memilih seorang kepala daerah atau menggelar pilkada.
Amanah lebih dari 50 persen pemilih yang mendukung Jokowi sebagai gubernur Jakarta untuk masa jabatan lima tahun bukanlah main-main. Sayangnya itu hanya dijalankan selama satu tahun saja. Tentu ini bisa dianggap mencederai janji. Meski tak semua, saya yakin banyak pendukung Jokowi yang kecewa dengan keputusannya untuk ‘tinggal glanggang colong playu’ (meninggalkan arena dan melarikan diri) demi mengejar jabatan yang lebih tinggi.
Sebagian pihak berdalih, kapan lagi Jokowi punya peluang dan kesempatan yang begitu besar dan sebaik ini untuk menduduki presiden? Justru di sinilah keagungan dan keluhuran budi dan nurani Jokowi diuji. Mengapa Jokowi harus takut kesempatan itu hilang?
Kalau dia yakin dengan kemampuan, cara kerja, kesederhanaan, kejujuran, keseriusan, dan hal lain yang positif, mengapa Jokowi harus khawatir? Bukankah kian lama masyarakat akan kian menyukainya, andai Jokowi yakin serta terbukti bisa berprestasi dan mampu mewujudkan harapan masyarakat di Jakarta.
Menjadi gubernur Jakarta bukanlah amanah yang kecil. Menjabat gubernur Jakarta hanya setahun demi bertarung merebut tahta presiden, bisa diibaratkan seperti pepatah ‘harapkan guntur di langit air di tempayan dicurahkan’. Membuang hal yang dianggap tak berarti (kecil) demi mengejar hal lain yang lebih besar. Selain itu, apa yang bisa dinikmati warga Jakarta dalam setahun masa jabatan Jokowi?
Jika seperti itu yang terjadi, tak salah bila masyarakat menyimpulkan, orientasi Jokowi hanyalah mengejar kekuasaan dan bukan menjalankan amanah di pundak dengan sebaik-baiknya. Pernyataan Jokowi berulang kali yang disampaikan selama ini, bahwa ia tak mau memikirkan soal pencalonannya sebagai presiden, berarti itu hanyalah basa-basi politik semata dan tak terucap tulus dari bibir tipis Jokowi.
Saya tak mau memikirkan soal pengusaha-pengusaha bermasalah yang selama ini dikabarkan banyak membiayai dan berada di balik pencitraan Jokowi. Saya juga tak terlalu membahas, begitu Jokowi menyatakan maju sebagai capres, adanya tokoh penting PDIP yang mantan menteri di era kabinet Megawati, kemudian tokoh itu menghubungi ketua umum sebuah partai politik lain dan menceritakan betapa bobroknya sindikat pengusaha yang ada di belakang Jokowi.
Sebagai rakyat kecil, saya hanya berharap agar setiap pemimpin bangsa memegang teguh amanah, aturan, etika, serta norma dalam bertindak sehingga bisa menjadi teladan atau contoh yang baik bagi rakyat. Mohon maaf, Pak Jokowi...
Mengaku telah mengantongi mandat dari Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri, Jokowi pun menyatakan kesiapannya maju sebagai calon presiden. Dia bahkan mendeklarasikan diri sebagai capres dari PDIP di rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara.
Selama ini, tingkat keterpilihan Jokowi sebagai calon presiden memang selalu berada di urutan teratas. Semua lembaga survei senantiasa menempatkan mantan wali kota Solo itu sebagai sebagai calon presiden paling disukai dan dipilih masyarakat.
Saya memperkirakan sambutan masyarakat luas atas pencalonan Jokowi tentu akan membahana. Sama seperti membahananya pemberitaan media saat mengetahui, bahwa Jokowi telah mendapat restu untuk maju sebagai calon presiden dari Megawati.
Di balik hiruk-pikuk dukungan terhadap Jokowi, banyak hikmah yang bisa kita petik. Ini harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa kita untuk melangkah ke depan dengan lebih baik.
Selayaknya, kasus majunya Jokowi sebagai capres ini merupakan peristiwa terakhir bagi seorang kepala daerah untuk menanggalkan jabatannya demi mengejar posisi yang lebih tinggi. Untuk itu perlu kiranya pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terkait dengan masa jabatan kepala daerah.
Dalam undang-undang itu ada dua hal yang membuat kepala/wakil kepala daerah berhenti dari jabatannya, yakni meninggal dan atas permintaan sendiri atau diberhentikan. Diberhentikan itu bisa berupa berakhir masa jabatannya, tak melaksanaan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama enam bulan bertutur-turut, tak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah, dinyatakan melanggar sumpah/janji, tak melaksanakan kewajiban sebagai kepala daerah, dan melanggar larangan sebagai kepala daerah.
Klausul (mundur) atas permintaan sendiri perlu dipertegas, apakah itu termasuk kategori tak mampu melaksanakan tugas dengan baik atau meninggalkan tugas karena ingin maju sebagai calon dalam posisi lain atau kedudukan yang lebih tinggi. Hal ini penting karena ‘kontrak’ antara kepala daerah dengan negara dan kepala daerah dengan masyarakat pemilihnya adalah lima tahun.
Sungguh sangat berbeda dengan masa jabatan anggota dewan, meski sama-sama lima tahun. Anggota dewan terdiri atas sekian puluh atau bahkan ratusan orang, sehingga satu orang mundur pun tak menjadi masalah. Belum lagi kalau dihitung ongkos besar yang dikeluarkan pemerintah hanya untuk memilih seorang kepala daerah atau menggelar pilkada.
Amanah lebih dari 50 persen pemilih yang mendukung Jokowi sebagai gubernur Jakarta untuk masa jabatan lima tahun bukanlah main-main. Sayangnya itu hanya dijalankan selama satu tahun saja. Tentu ini bisa dianggap mencederai janji. Meski tak semua, saya yakin banyak pendukung Jokowi yang kecewa dengan keputusannya untuk ‘tinggal glanggang colong playu’ (meninggalkan arena dan melarikan diri) demi mengejar jabatan yang lebih tinggi.
Sebagian pihak berdalih, kapan lagi Jokowi punya peluang dan kesempatan yang begitu besar dan sebaik ini untuk menduduki presiden? Justru di sinilah keagungan dan keluhuran budi dan nurani Jokowi diuji. Mengapa Jokowi harus takut kesempatan itu hilang?
Kalau dia yakin dengan kemampuan, cara kerja, kesederhanaan, kejujuran, keseriusan, dan hal lain yang positif, mengapa Jokowi harus khawatir? Bukankah kian lama masyarakat akan kian menyukainya, andai Jokowi yakin serta terbukti bisa berprestasi dan mampu mewujudkan harapan masyarakat di Jakarta.
Menjadi gubernur Jakarta bukanlah amanah yang kecil. Menjabat gubernur Jakarta hanya setahun demi bertarung merebut tahta presiden, bisa diibaratkan seperti pepatah ‘harapkan guntur di langit air di tempayan dicurahkan’. Membuang hal yang dianggap tak berarti (kecil) demi mengejar hal lain yang lebih besar. Selain itu, apa yang bisa dinikmati warga Jakarta dalam setahun masa jabatan Jokowi?
Jika seperti itu yang terjadi, tak salah bila masyarakat menyimpulkan, orientasi Jokowi hanyalah mengejar kekuasaan dan bukan menjalankan amanah di pundak dengan sebaik-baiknya. Pernyataan Jokowi berulang kali yang disampaikan selama ini, bahwa ia tak mau memikirkan soal pencalonannya sebagai presiden, berarti itu hanyalah basa-basi politik semata dan tak terucap tulus dari bibir tipis Jokowi.
Saya tak mau memikirkan soal pengusaha-pengusaha bermasalah yang selama ini dikabarkan banyak membiayai dan berada di balik pencitraan Jokowi. Saya juga tak terlalu membahas, begitu Jokowi menyatakan maju sebagai capres, adanya tokoh penting PDIP yang mantan menteri di era kabinet Megawati, kemudian tokoh itu menghubungi ketua umum sebuah partai politik lain dan menceritakan betapa bobroknya sindikat pengusaha yang ada di belakang Jokowi.
Sebagai rakyat kecil, saya hanya berharap agar setiap pemimpin bangsa memegang teguh amanah, aturan, etika, serta norma dalam bertindak sehingga bisa menjadi teladan atau contoh yang baik bagi rakyat. Mohon maaf, Pak Jokowi...
ADA YANG TAU JASMEV ?? ATAU BARA JP
JASMEV ADALAH SEKUMPULAN ORANG ONLINE YANG MENDUKUNG JOKOWI
INI DIA GAMBARNYA :
0 Komentar
Terimakasih telah berkomentar