Saya adalah korban kerusuhan Mei 1998. Sekian tahun setelah kerusuhan itu harus tinggal di luar negeri akibat trauma dan mengamankan keluarga sebelum kembali ke Indonesia untuk bekerja dan berusaha. Selama di luar negeri, saya terus mengikuti berita Indonesia melalui SiaR dan Xpos yang kini saya ketahui merupakan produk dari Gunawan Muhammad. SiaR dan Xpos acapkali memberitakan tentang sepak-terjang Prabowo sebagai buruk, anti Tionghoa dan psikopat. Di antaranya adalah tulisan Andreas Harsono di majalah asing yang sangat negatif tentang Prabowo dan Fadli Zon, yang mengesankan bahwa Prabowo ingin menghabisi Tionghoa Indonesia karena kekuatan ekonomi yang dimilikinya.
Prabowo Subianto Capres RI-7 |
Tulisan Andreas Harsono tersebut masih bisa dilihat di webnya, di antaranya saya lampirkan di sini artikel sesaat setelah pemberhentian Prabowo : http://www.andreasharsono.net/1998_08_01_archive.html
Dan ini adalah tulisan Andreas Harsono di AMREP :
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/02/21/0183.html
Supaya fair, ini adalah tanggapan Fadli Zon tentang tulisan Andreas Harsono :
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/02/21/0183.html
Dengan menyimak tulisan-tulisan yang tendensius tersebut, tidaklah heran minoritas Tionghoa maupun non muslim menjadi sangat paranoid terhadap Prabowo Soebianto dan Fadli Zon, termasuk saya. Saya bersyukur Prabowo Soebianto diberhentikan dari dinas militer dan harus meninggalkan negeri sendiri mengungsi (ke Yordania) seperti saya. Hidup di luar negeri seberapa tenang dan amannyapun tetap berbeda dengan hidup di bumi tumpah darah. Termasuk di antaranya saya harus menerima, bahwa sebagian keluarga kini tetap trauma kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara asing.
Dalam bincang pagi ini di TV One, ada Andre Rosiade, mantan Ketua BEM Trisakti pada masa reformasi, dengan narasumber lainnya Mayjend Purn. Kivlan Zen, berbicara bahwa apabila Prabowo Soebianto menjadi Presiden RI, maka kasus Mei 98 akan dibuka dan diproses melalui institusi formal, dalam kasus ini tentunya adalah Pengadilan HAM Ad Hoc; dan saat itulah mereka bersedia untuk mengikuti proses dan memberikan kesaksiannya. Sebelumnya, diberitakan alumni Trisakti dan keluarga Pahlawan Reformasi di antaranya ibu Hira Tetty, ibunda alm. Elang Mulia Lesmana, juga menyatakan mendukung Prabowo Soebianto dengan catatan membuka kembali kasus Mei 98.
Selama 3x pemilu, saya senantiasa memilih PDIP dengan anggapan bahwa PDIP adalah satu-satunya partai yang berkomitmen melindungi minoritas Tionghoa non muslim. Sampai hari inipun mereka masih menjual image yang sama. Acapkali saya menerima broadcast di ponsel dan email untuk memilih PDIP dan Jokowi-JK, seringnya dengan menginsinuasikan bahwa Prabowo berkuasa akan menjadi bencana bagi minoritas karena Wahabbi, karena PKS, karena FPI, karena gerbong Islam di belakangnya.
Pada acara ILC sehari setelah pendaftaran capres-cawapres, Effendi Simbolon, mantan Ketua Pansus orang hilang dan timses PDIP kembali menyerang kubu Prabowo-Hatta mengenai kasus HAM penculikan aktifis. Yang menarik adalah pernyataan Effendi Simbolon, bahwa kasus hilangnya 13 aktivis adalah Pelanggaran HAM berat sementara kasus Mei 98, yang menyebabkan kematian ribuan orang tidak bersalah, di antaranya dibakar hidup-hidup di mal, kenalan saya suami istri berikut dua orang putrinya dikunci di dalam ruko di Kebun Jeruk yang dibakar, tragedi Semanggi I dan II, pembantaian di jalan Ketapang; semuanya bukanlah pelanggaran HAM berat…!
Ini sangat mencengangkan, telah sia-sia saya belasan tahun mendukung PDIP, ternyata HAM seperti ini yang mereka perjuangkan. Apakah tidak berharga nyawa yang hilang pada kejadian-kejadian luar biasa tersebut dibandingkan 13 orang aktivis, yang dikabarkan telah dan berpotensi melakukan aksi-aksi kekerasan, di antaranya merakit dan menyebarkan bom…?
Semasa mahasiswa dulu, saya pernah menjadi aktivis pemberontak melawan Orba karena pergaulan. Apabila kita vokal dan mulai membentuk atau ikut organisasi-organisasi vokal di kampus, akan ada agen-agen dengan berpakaian sipil yang mendekati kita dan memberikan nasehat. Apabila kita tetap saja vokal, maka mereka akan datang kembali dan bicara lebih keras. Jika tetap saja kita ngeyel, maka kita bisa dijemput dan dibawa ke kantor dan diberi peringatan yang lebih keras lagi. Saya tidak bisa mencontohkan lebih, sebab tingkat kebandelan saya hanya sampai taraf ini. Tapi yang jelas saya paham, bahwa seseorang yang innocent tidaklah mungkin mendadak, mengalami penghilangan secara paksa.
Setelah bertahun lewat Mei 98, akibat yang kasat mata adalah turunnya rezim Soeharto, habisnya karir militer Prabowo Soebianto, dan pelarian dana BLBI dikabarkan lebih dari Rp 1000 triliun, dimana akhirnya kita berhutang pada IMF, yang harus dibayar sampai ke anak cucu kita sampai dengan tahun 2032…! Belum lagi sedemikian banyak nyawa yang hilang, kehidupan yang hancur, ekonomi yang terpuruk. Ibunda teman saya, yang saya anggap seperti orang tua sendiri, kiosnya di Glodok dijarah habis-habisan dan suaminya terkena serangan jantung. Setelah itu pikirannya kosong dan berkali-kali meninggalkan rumah untuk menjenguk puing-puing tokonya, sampai akhirnya setahun kemudian menghadap yang kuasa dalam kesedihan.
Saat ini apabila kita melihat, siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh kejadian Mei 98 tersebut. Adalah rezim yang berkuasa sesudahnya, yang bukanlah mantan Presiden Habibie yang ketiban pulung. Bukan pula mantan Presiden Gus Dur yang naik karena skenario di luar dugaan dari manuver Amien Rais. Dulu saya tak bisa melihat jernih, tapi kini semakin jelas.
Rezim ini yang akhirnya memberikan Release and Discharge kepada sejumlah konglomerat, yang mendapat BLBI, yang menggunakan dana masyarakat di banknya sesuka hati. Mereka yang seharusnya bangkrut karena hutang-hutangnya, tapi ternyata sekarang di saat bangsa Indonesia masih mencicil hutang, mereka sudah mendapatkan pembebasan hutang dan semakin hari semakin kaya saja, dengan kerajaan bisnis baru melampaui batas Indonesia.
Saya juga terheran-heran atas sikap sekelompok Jendral Purnawirawan, di antaranya yang berada di dalam DKP yang memberhentikan Prabowo, kini sangat aktif menjegal Prabowo dengan segala cara. Hendropriyono menyebut Prabowo psikopat. Agum Gumelar dan Luhut Pandjaitan menjelek-jelekkan Prabowo setiap ada kesempatan, di koran, media, TV. Sutiyoso yang tidak dianggap sedikitpun oleh kubu Jokowi-JK juga manut luar biasa. Wiranto pun telah tertutup mata hatinya. Jendral2 purnawirawan ini tak terpengaruh oleh pergantian rezim, bahkan menikmati keuntungan luar biasa. Melanjutkan jabatannya, mendapat jabatan baru, menjadi Menteri, terpakai, bahkan hidupnya kaya dan bahkan ada yang sudah menjadi konglomerat.
Kasus Mei 98 adalah catatan kelam Republik ini. Anak cucu kita perlu tahu mengapa generasi kita meninggalkan hutang ekonomi dan sejarah hitam yang sedemikian besar. Dengan melihat gerbong di belakang Jokowi, dan PDIP yang selama masa reformasi hanya memperjuangkan HAM sempit, dan kini mempolitisasi HAM 13 aktivis sekuat tenaga sebagai bagian dari upaya mereka melakukan kampanye hitam menjatuhkan Prabowo; sudah jelas tidak perlu mengharapkan Jokowi akan menuntaskan Mei 98. Kemungkinan besar Jokowi memang hanya figur boneka yang karena sukses dipopulerkan, akhirnya diangkat untuk menjegal Prabowo, sehingga alasan dan dalang di balik Mei 98 tidak pernah terbongkar.
Kepada Prabowo Soebianto, sebagaimana alumni Trisakti dan keluarga pahlawan Reformasi, saya menggantungkan harapan agar kasus kerusuhan Mei 98 diungkap dan diproses melalui prosedural hukum dan tata-negara yang telah diUndang-Undangkan. Sudah terlalu lama kita menunggu dan berdiam diri. Pihak-pihak yang berdosa kepada rakyat dan sejarah Republik ini, biarlah mereka menghadapi hari penghakiman mereka.
Jakarta, 11 Juni 2014
0 Komentar
Terimakasih telah berkomentar