KUNJUNGI WEB SAYA

Tentang Ruang Lingkup Perbankan Syariah Menurut Undang-Undang

Latar Belakang, dalam krisis ekonomi global, yang mengakibatkan semakin terpengaruhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar dengan dampak melambatnya pertumbuhan perokonomian di Indonesia. Atas dasar tersebutlah, dan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional harus terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi maka perlu dikembangkannya suatu sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah/ Islam. Dimana prinsip-prinsip syari’ah inilah yang nantinya mempunyai daya saing, terutama untuk menarik para investor negara Timur Tengah (Arab), yang terkenal dengan istilah industri kilangan minyak bumi sebagai pemasok terbesar diasia tenggara. Prinsip-prinsip syariah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat, karena perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional.

Prinsip dasar tersebut diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri yaitu diperlukannya/dibentuknya sebuah Undang-Undang tentang Perbankan Syariah;

Landasan Hukum, perlu diketahui bahwa Undang-Undang tentang Perbankan Syariah harus berlandaskan kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu Pasal 20 dan Pasal 33, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang¬Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

Merupakan sebagai landasan dan sekaligus sebagai payung hukum dari Undang Undang Perbankan Syari’ah adalah juga merupakankan sebagai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan yang bersifat ekternal maupun internal yang mengingat kepada bahwa perbankan syari,ah nantinya akan berkembang pesar dan akan sejajar kedudukkannya dengan Bank konvesional, oleh karenanya untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan tersebut, perlu sekali pengaturan yang bersifat internal mapun eksternal, baik berupa kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan untuk berperan didalam kancah perekonomian global sekarang ini.
Pengertian Hukum Perbankan : Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, yang mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan pengertian Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat yang bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Semua kegiatan perbankan di Indonesia dibawah naungan dan pengawasan Nank Indonesia dan pengertian Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lain halnya dengan pengertian Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat. Sedangkan pengertian Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Sesuai dengan perkembangan jaman dan era globalisasi ekonomi, dimana Bank Syariah adalah merupakan sebagai Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip Syariah/Islam, yang menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang dalam kegiatannya adalah untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dimana terdapat Unit Usaha Syariah (UUS) adalah suatu unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.

Sedangkan Kantor Cabang adalah merupakan sebagai kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang tersebut untuk melakukan usahanya. Terdaptnya prinsip-prinsip syari’ah adalah suatu prinsip hukum Islam yang didalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan didalam menetapan fatwa di bidang syariah, dalam hal mengenai akad yang merupakan sebagai kesepakatan tertulis antara Bank Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. Dan mengenai kerahasia Bank yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta Nasabah Investor dan Investasinya (yang disimpan pada bank syari’ah harus dijaga kerahasiaanya).

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa secara internal maupun secara eksternal kedudukan bank syari’ah berada didalam bank konvesional, yang merupakan suatu unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah tersebut.

Didalam perbankan syari’ah terdapat pihak terafiliasi adalah sebagai berikut : a. komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, b.pihak yang memberikan jasanya kepada Bank Syariah atau UUS, antara lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai, dan konsultan hukum; dan/atau, dan c. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung maupun tidak langsung, antara lain pengendali bank, pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, dan keluarga direksi.

Pihak yang menyimpan dana pada bank syari’ah adalah nasabah yaitu sebagai pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah (UUS) yang terdiri dari :1. Nasabah Penyimpan, yang merupakan sebagai Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah (UUS) dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan, 2. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah (UUS) dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah(UUS) dan pihak Nasabah yang bersangkutan, 3. Nasabah Penerima Fasilitas adalah nasabah adalah nasabah yang memperoleh fasilitas dana, yang berdasarkan Prinsip Syariah, 4. Simpanan adalah suatu dana yang dipercayakan oleh pihak nasabah kepada Bank Syariah (UUS) berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro/Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan surat berharga syari’ah lainnya.

Mengenai pengertian tabungan adalah adalah suatu simpanan yang berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi dana berdasarkan Akad mud harabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, sedangkan deposito adalah investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah(UUS).
Simpanan lain yang berbentuk giro adalah suatu simpanan yang berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindah bukuan. Lain halnya dengan investasi yaitu suatu dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah (UUS) berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan berdasarkan undang-undang perbankan.

Didalam kegiatan perbankan Syari’ah terdapat istilah pembiayaan yaitu penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a.transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, b.transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’, d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah (UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Untuk menjamin kelancaran perbankan syari’ah tersebut didalam melahsanakan transaksi yang berupa transaksi bagi hasil, jual beli/sewa, transaksi sewa menyewa diperlukan suatu agunan yaitu suatu jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah (UUS), guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas dari bank syari’ah tersebut.

Perlu kita ketahui bahwa terhadap pengertian penitipan adalah suatu penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah (UUS) dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah(UUS) yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut dan terdapatnya wali amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga tersebut.(hal ini didalam realisasi transaksi perbankan syari’ah).

Didalam kegiatan perbankan, mungkin saja akan terjadi didalam penyehatan suatu bank yaitu dengan cara melakukan penggabungan yaitu suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank/lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan diri akan beralih kepada hukum Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri tersebut akan berakhir karena hukum.

Sedangkan mengenai suatu upaya peleburan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank/lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Begitu pula dengan istilah pengambil alihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut dan pegitupula mengenai hal pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank menjadi dua badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Segala tindakan tersebut diataur oleh Undang Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah, yang merupakan sebagai kebijakan pemberlakukan yang ditentukan oleh kebijakan dasar dari Peraturan Bank Indonesia, yang merupakan sebagai bank sentral indonesia untuk mengatur dan mengawasi segala kegiatan perbankan di Indonesia.

Kegiatan perbankan syari’ah didasari oleh asas, tujuan dan fungsi dari Perbankan Syariah didalam melakukan kegiatan usahanya yang berasaskan Prinsip Syariah/Islam, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian, dengan bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat yaitu : 1. untuk menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, 2. untuk menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat, 3. untuk menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakil) dan 4. Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mengenai masalah perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan kepemilikan diatur oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, dimana dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah (UUS) dari Bank Indonesia, ayat (2).untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang: (a.susunan organisasi dan kepengurusan, b.permodalan, c. kepemilikan, d.keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan e. kelayakan usaha), (3). persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia, (4). Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata “syariah” pada penulisan nama banknya, (5). Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan, (6). Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia, (7). Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional, (8). Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan (9). (9) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia.

Terdapat pengaturan dalam Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 4, dimana terhadap pembukaan kantor cabang Bank Syari’ah(UUS), dan jenis-jenis lainnya , begitu pula terhadap pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis¬-jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yaitu hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Dan kemudian untuk pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.

Sedangkan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri, hal ini merupakan suatu ketentuan yang telah dinyata secara tegas oleh Undang-Undang Bank Indonesia.

Mengenai bentuk Badan Hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas (diatur dalam Pasal 7), sedangkan mengenai anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan adalah mengenai ketentuan : a. pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia, b. Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Pasal 8).

Dalam hal mengenai pendirian dan kepemilikan Bank Syari’ah harus memenuhi syarat-syarat : Bank Umum Syari’ah didirikan dan dimiliki oleh a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau c. pemerintah daerah.(ayat 1), sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a). warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia,b).pemerintah daerah; atau c).dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b (ayat 2) dan untuk kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ((ayat 3) dari Pasal 9))

Terhadap pengaturan mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah (terdapat dalam pasal 5 s/d Pasal 9) dan mengenai besarnya modal yang disetor untuk mendirikan Bank Syari’ah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (pasal 10 dan Pasal 11). Terhadap kegiatan saham bank syari’ah dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama, dan kegiatan Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah/Islam dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal (Pasal 11 dan Pasal 12). Untuk ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan Bank Syari’ah diatur oleh Pasal 13 sampai dengan Pasal 17, dimana harus selaras dengan ketentuan Prinsip Syari’ah dan Peraturan Bank Indonesia.

Untuk pengaturan mengenai jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana dan larangan bagi bank syariah dan UUS, diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 26, sedangkan mengenai pengaturan pemegang saham pengendalian, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Direksi dan Tenaga Kerja Asing diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. Terhadap pengaturan Tata Kelola, Prinsip Kehati-hatian dan Pengelolaan Risiko Perbankan Syari’ah diatur dan dijelaskan dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 40, yang mengatur secara jelas dan terperinci terhadap kegiatan perbankan syari’ah tersebut.
Kerasiaan Bank wajib dijaga mengenai nasabah penyimpan, nasabah investor, investasinya dengan pengecualian untuk kepentingan penyidik pidana perpajakan, pimpinan BI atas perintah menteri keuangan, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana ( diatur oleh Pasal 41 sampai Pasal 49).

Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Syariah(UUS), agar tetap memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah (UUS), dimana kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah (UUS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Dan selain itu Bank Syariah (UUS) wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut tata cara yang telah ditetapkan.

Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang : a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank, b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank dan c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening simpanan maupun rekening Pembiayaan.

Bank Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk dan atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), sebagaimana persyaratan dan tata cara pemeriksaan yang di atur dalam ayat (1) Peraturan Bank Indonesia dan Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan terhadap Bank Syariah apabila mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, dalam rangka tindak lanjut mnelakukan pengawasan antara lain: a.membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham, komisaris, direksi, dan pemegang saham, b. meminta pemegang saham menambah modal, c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah, d. meminta Bank Syariah menghapus pembukuaan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya, e. meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain, f. meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya, g. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain, dan h. meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain. (diatur oleh Pasal 50 sampai dengan Pasal 54).

Apabila Bank Syariah didalam melakukan kegiatan perbankan terdapat sengketa terhadap pihak lain, maka penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat dilakukan/diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, apabila para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan sesuai dengan isi Akad dan didalam penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah/Islam. (diatur dalam Pasal 55).

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral akan menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah (UUS), anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini (diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 66), dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan bank.

Analisa secara faktor internal, terhadap bank syari’ah yang merupakan badan hukum untuk melakukan kegiatan menghimpun dana dari para nasabah, dengan menjamina kerahasian para nasabah, kecuali ditentukan lain demi kepentingan pidana perpajakan, atas perintah Pimpinan Bank Indonesia/mentri keuangan dan untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Bank Indonesia yang merupakan sebagai Bank Sentral di Indonesia, berkewajiban melakukan pemeriksanaan maupun pengawasan terhadap Bank Syari’ah, apabila dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang, dan pengenaan sanksi administratif dan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan bank tersebut. Landasan hukum berdasarkan kebijakan dasar tersebut adalah membuktikan bahwa perbankan syari’ah terlihat siap ikut melaksankan dan membantu perekonomian Indonesia, khususny perekonomian yang berdasarkan prinsip kesyari’ahan.

Analisa secara faktor eksternal, adalah untuk membuktikan kapada dunia internasional bahwa perbankan syari’ah dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan perekonomian baik secara nasional maupun internasional, serta untuk menarik para investor asing terutama para investor negara-negara Islam (misalnya negara arab saudi, Quaid dan lain-lainya) agar mau menginvestasikan modalnya di negara Indonesia dengan prinsip-prinsip kesyari’ahan. Faktor eksternal inilah yang berperan sangat penting didalam perkembangan perbankan syari’ah, agar dapat tumbuh dan berkembang dengan ceapt, yang nantinya dapat diharapkan membnatu perekonomian Indonesia.

Analisa baik secara faktor internal maupun secara faktor eksternal, dimana terlihat baik mengenai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuannya telah selaras dan harmonis, hanya didalam realisasi harus diatur dengan secara tegas berdasarkan prinsip syari’ah yang bersifat nasional maupun internasional, hal ini untuk mengantisipasi apabila terjadi sengketa baik dengan para nasabah/investor baik secara nasional maupun internasional. Hal ini harus diperhitungkan secara mendalam bagaimana untuk menangani sengketa tersebut? apalagi jika melibatkan wilayah hukum dua negara atau lebih.
Previous
Next Post »
0 Komentar

Terimakasih telah berkomentar