KUNJUNGI WEB SAYA

Sejarah Singkat Nama Usman - Harun "Ganyang Malaysia"

MERDEKA.COM. Senin malam, 13 April 1964. Azan isya sudah berlalu setengah jam. Suasana Kampung Melayu di Singapura terasa hening. Rumah-rumah penduduk telah terkunci.

Penghuni sebuah rumah panggung di Geylang Serai, termasuk bagian Kampung Melayu, masih melek. Salim Osman, anak keenam dari sebelas bersaudara, tengah khusyuk mengerjakan tugas pelajaran matematika di ruang makan. Bocah 12 tahun ini kelas satu SMP di Siglet, sekitar lima kilometer dari rumah.

Tiba-tiba terdengar satu ledakan. "Suaranya keras sekali, tapi tidak terasa getaran," kata Salim saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya Jumat dua pekan lalu. Insiden ini menggegerkan warga kampung.

Ledakan bom itu terjadi di Jalan Rebong, Kampung Ubi, sekitar satu kilometer dari rumah Salim. Bahan peledak diletakkan di pinggir jalan depan rumah kosong. Namun rumah itu tidak hancur. Kerusakan parah terjadi pada sebuah rumah panggung, sekitar lima meter dari pusat ledakan. Peristiwa itu menewaskan penghuni rumah itu, janda setengah abad bersama putri tunggalnya, pelajar 19 tahun.

Tiga hari kemudian, ada ledakan lagi. Kali ini suaranya lebih keras lantaran lebih dekat dengan kediaman Salim, kira-kira 800 meter. Kejadiannya sekitar pukul sepuluh malam. ketika itu Salim tengah menumpang nonton televisi di tetangga sebelah rumah.

Maklum saja, televisi masih barang mahal saat itu. Salim sekeluarga cuma bisa mendengarkan siaran Radio Singapore dalam bahasa Melayu atau Inggris. Dari radio pula, dia tahu Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Malaysia. Singapura waktu itu masuk dalam Federasi Malaysia.

Asal ledakan di simpang Jalan Betek dan Jalan Timun, juga masuk wilayah Kampung Melayu. Bom diletakkan di telepon umum juga merusak dua rumah di sampingnya. Dua warga China, termasuk perempuan 62 tahun dan tiga orang Melayu, cedera.

Karena dekat, Salim bersepeda menghampiri lokasi ledakan. Dia tiba setengah jam berselang lantaran harus mencari tahu tempatnya. Setiba di sana, orang sudah ramai kumpul. Polisi dan paramedis tengah sibuk mengevakuasi korban.

Menurut Salim, Singapura saat masa konfrontasi, 1963-1965, terasa mencekam. Pemerintah negara kota itu sudah memperingatkan penduduk lewat siaran televisi dan radio agar menjauhi tempat-tempat keramaian. Sebab ledakan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Sementara itu, siapa pelakunya sumir. "Biasanya bom meledak di pantai, taman, telepon umum, dan tempat keramaian lainnya," ujar Salim.

Era konfrontasi dipicu oleh berdirinya negara Federasi Malaysia pada 1957. Presiden Soekarno menudingnya sebagai negara boneka Inggris, serta dibentuk untuk melemahkan perekonomian Indonesia. Dalam pidato 27 Juli 1963 di Lapangan Ikada (sekarang bernama Lapangan Monumen Nasional), Soekarno mengobarkan slogan Ganyang Malaysia. Sejak itu, terkumpul 21 juta sukarelawan siap menyerbu negara jiran tersebut.

Sejak pidato Soekarno pula, kecemasan dan ketakutan melanda warga Singapura. Penduduk di kampung-kampung giat melaksanakan ronda malam. Dari data kepolisian Singapura, kata Salim, selama masa konfrontasi terjadi 42 ledakan di seantero Negeri Singa itu.

Meski begitu, sentimen anti-Indonesia tidak terasa di sana. Sebab sebagian besar rakyat Singapura ketika itu berdarah Indonesia. "Orang tua saya asal Kendal, Jawa Tengah," tutur Salim.

Singapura kini murka lantaran luka lama dirobek lagi. Mereka memprotes keras keputusan pemerintah Indonesia memberi nama Kapal Republik Indonesia (KRI) untuk keperluan tempur, Usman Harun. Sebab dua anggota Korps Komando Operasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut ini merupakan pelaku utama peledakan MacDonald House di kawasan bisnis Singapura, Orchard Road, 10 Maret 1965.

Kemarahan petinggi Singapura akhir-akhir ini seolah lupa mereka pernah ciut dibekap suasana mencekam setengah abad lalu.